Hukum Menambahkan Lafadz “Sayyidina” Saat Tasyahhud, Shalawat Dan Adzan
ROMADHON.ID, TANJUNG ENIM - Pembahasan hukum menambahkan kata “Sayyidina” ketika tasyahhud, shalawat dan adzan kali ini dibatasi dalam kerangka mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling banyak tersebar di Indonesia.
Tasyahhud
Tasyahhud adalah rukun sholat. Ada beberapa riwayat tentang tasyahhud yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah dari riwayat Ibnu Mas’ud –radhiyallahu anhu-.
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Di dalam tasyahhud disebutkan nama Nabi Muhammad SAW. Nah pembahasan kali ini adalah apa hukum menambahkan kata “Sayyidina” sebelum kata Nabi Muhammad dalam tasyahhud sesuatu yang dianjurkan (mustahab) atau tidak?
Menurut Syaikh Muhammad Salim Buhairiy –hafizhahullah– tidak ditemukan nash ulama mazhab Syafi’i yang sudah tercetak atau yang masih menjadi manuskrip tentang boleh atau tidaknya penambahan lafadz “Sayyidina” ketika disebut Nabi Muhammad. Namun yg lebih dekat dengan kaidah mazhab adalah tidak dimustahabkan karena tasyahhud dibangun diatas tauqīf[1] dan ittiba’[2]. Ini dikuatkan dengan ucapan Ibnu Abbas –Radhiyallāhu ‘anhuma-: “Dahulu Rasulullah mengajarkan kepada kami tasyahhud sebagaimana mengajarkan kepada kami Al Qur’an”.
Akan tetapi jika ada yg menambahkan lafadz tersebut maka tidak membatalkan shalat, begitulah yang sesuai atau mendekati kaidah-kaidah dalam mazhab Syafi’i.
Namun ada beberapa dari ulama mutaakhirin mazhab Syafi’i menyebutkan tentang istihbāb (anjuran) penambahan lafadz “Sayyidina” ketika tasyahhud, seperti Qalyūbiy dalam hasyiahnya, As-Syarwaniy dalam hasyiahnya dan Bakri Syatha dalam i’anatut thalibin, ketiganya menyebutkan anjuran untuk menambahkan lafadz “Sayyidina”.
Menjadi catatan penting bahwa penambahan lafadz “Sayyidina” tidak disebutkan oleh kalangan ulama mutaqaddimin mazhab Syafi’i, bahkan selevel Imam Zakariya Al-Anshariy, Al-Khatib As-Syarbiniy, Ibnu Hajar Al-Haitsamiy dan Ar-Ramliy tidak menyebutkan masalah ini, padahal mereka menyebutkan penambahan lafadz “Sayyidina” dalam shalawat setelah tasyahhud.
Dengan catatan di atas maka ada beberpa hal yg perlu diperhatikan:
1. Lafadz-lafadz dalam tasyahhud lebih ketat secara syarat dan ketentuan dari lafadz-lafadz shalawat, sehingga sesuatu yg bisa ditambahkan dalam shalawat belum tentu bisa ditambahkan dalam tasyahhud, contoh saja: mengganti lafadz “Muhammad” dengan lafadz “Ahmad”, ini tidak diperbolehkan dalam lafadz tasyahhud tapi diperbolehkan dalam lafadz shalawat.
2. Mayoritas pembahasan boleh dan tidaknya menambahkan lafadz Sayyidina itu dalam shalawat bukan dalam tasyahhud, walaupun ada beberapa ulama mutaakhirīn mazhab menyebutkan hal tersebut seperti yg sudah disebutkan di atas.
3. Ucapan Ibnu ‘Abbās -radhiyallāhu- di atas yang mengisyaratkan bahwa lafadz tasyahhud bersifat tauqifiy.
Shalawat
Shalawat yang dimaksud di sini adalah shalawat yang diucapkan ketika sholat. Yaitu bacaan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Nah, bolehkah menambahkan lafadz “Sayyidina” ketika menyebut nama Muhammad di dalam shalawat di atas?
Dalam masalah ini setidaknya ada tiga pendapat ulama Syafi’iyah.
Pandangan pertama: Tidak dianjurkan penambahan lafadz tersebut dalam shalat, namun apabila ditambahkan maka tidak membatalkan shalat. Ini pandangan Al-Khathib As-Syarbiniy dan yang zhahir dari ucapan Al-Isnawiy –Rahimahumallahu ta’ala-.
Pandangan kedua: Dimustahabkan penambahan lafadz tersebut dalam shalat. Ini adalah pendapat Ar-Ramliy dan Ibnu Hajar Al-Haitsamiy, dinisbatkan pula kepada Ibnu Zhahirah –Rahimahumullah-.
Pandangan ketiga: Penambahan lafadz tersebut dalam shalat membatalkannya. Ini adalah pendapatnya Abul Muzhaffar at Thusiy –Rahimahullah-, hanya pendapat ini lemah dan syādz.
Catatan: Pendapat pertama cukup kuat, dikarenakan ihtiyāth (kehati-hatian) dalam menambahkan sesuatu dalam shalat dan khurūj (menghindari) pendapat yg ketiga.
Adzan
Tidak ada nukilan yg dari kalangan ahli tahqīq dalam mazhab Syafi’i tentang penambahan lafadz “Sayyidina” ketika mengumandangkan azan. Hanya saja ada nukilan dari As-Syabramallisiy, itupun secara “takhrij“[3] atas pendapat Ar-Ramliy dalam masalah penambahan lafadz “Sayyidina” pada shalawat.
Hanya saja takhrīj yg beliau lakukan, perlu ditinjau kembali, dikarenakan pembahasan adzan lebih sempit/ketat dibandingkan pembahasan shalawat. Sedangkan dalam pembahasan adzan ulama’ mazhab banyak memakruhkan penambahan-penambahan dalam adzan dengan alasan bahwa lafadz tersebut tidak disebutkan oleh Nabi, seperti penambahan at tatswib[4] dalam adzan isya’.
Mereka membantah orang-orang yang mengqiyaskan penambahan at tatswīb dalam adzan isya’ dengan adzan subuh. Begitu pula mereka memakruhkan pembahasan ucapan “Hayya ‘alā khoiril ‘amal” walaupun penambahan ini disebutkan dalam hadits yg mauqūf.
Tidak dianjurkannya penambahan lafadz tersebut dalam adzan juga dikuatkan secara dalil, sebagaimana diriwayatkan dari Abī Mahdzūrah: “Bahwasanya Rasulullah mengajarkan kepadanya adzan dengan 19 jumlah“. Penyebutan jumlah tersebut menunjukkan kehati-hatian para sahabat dalam menambah atau mengurangi lafadz adzan.
Walau demikian, penambahan lafadz tersebut tidak membatalkan adzan, dikarenakan ulama mazhab Syafi’i memperbolehkan penambahan zikir atau kata dalam adzan, tentu hal tersebut selama tidak membuat adzan menjadi samar dikalangan orang-orang yg mendengarkannya.
Terakhir, apapun pilihan anda, teruslah pelajari dengan matang setiap permasalahan agama dan ikutilah ulama yg menurut anda lebih dipercaya secara keilmuan dan ketaqwaannya. Semoga bermanfaat dan selalu diberi taufik oleh-Nya. Wallahu a’lamu bissowab
Tasyahhud
Tasyahhud adalah rukun sholat. Ada beberapa riwayat tentang tasyahhud yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Salah satunya adalah dari riwayat Ibnu Mas’ud –radhiyallahu anhu-.
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Di dalam tasyahhud disebutkan nama Nabi Muhammad SAW. Nah pembahasan kali ini adalah apa hukum menambahkan kata “Sayyidina” sebelum kata Nabi Muhammad dalam tasyahhud sesuatu yang dianjurkan (mustahab) atau tidak?
Menurut Syaikh Muhammad Salim Buhairiy –hafizhahullah– tidak ditemukan nash ulama mazhab Syafi’i yang sudah tercetak atau yang masih menjadi manuskrip tentang boleh atau tidaknya penambahan lafadz “Sayyidina” ketika disebut Nabi Muhammad. Namun yg lebih dekat dengan kaidah mazhab adalah tidak dimustahabkan karena tasyahhud dibangun diatas tauqīf[1] dan ittiba’[2]. Ini dikuatkan dengan ucapan Ibnu Abbas –Radhiyallāhu ‘anhuma-: “Dahulu Rasulullah mengajarkan kepada kami tasyahhud sebagaimana mengajarkan kepada kami Al Qur’an”.
Akan tetapi jika ada yg menambahkan lafadz tersebut maka tidak membatalkan shalat, begitulah yang sesuai atau mendekati kaidah-kaidah dalam mazhab Syafi’i.
Namun ada beberapa dari ulama mutaakhirin mazhab Syafi’i menyebutkan tentang istihbāb (anjuran) penambahan lafadz “Sayyidina” ketika tasyahhud, seperti Qalyūbiy dalam hasyiahnya, As-Syarwaniy dalam hasyiahnya dan Bakri Syatha dalam i’anatut thalibin, ketiganya menyebutkan anjuran untuk menambahkan lafadz “Sayyidina”.
Menjadi catatan penting bahwa penambahan lafadz “Sayyidina” tidak disebutkan oleh kalangan ulama mutaqaddimin mazhab Syafi’i, bahkan selevel Imam Zakariya Al-Anshariy, Al-Khatib As-Syarbiniy, Ibnu Hajar Al-Haitsamiy dan Ar-Ramliy tidak menyebutkan masalah ini, padahal mereka menyebutkan penambahan lafadz “Sayyidina” dalam shalawat setelah tasyahhud.
Dengan catatan di atas maka ada beberpa hal yg perlu diperhatikan:
1. Lafadz-lafadz dalam tasyahhud lebih ketat secara syarat dan ketentuan dari lafadz-lafadz shalawat, sehingga sesuatu yg bisa ditambahkan dalam shalawat belum tentu bisa ditambahkan dalam tasyahhud, contoh saja: mengganti lafadz “Muhammad” dengan lafadz “Ahmad”, ini tidak diperbolehkan dalam lafadz tasyahhud tapi diperbolehkan dalam lafadz shalawat.
2. Mayoritas pembahasan boleh dan tidaknya menambahkan lafadz Sayyidina itu dalam shalawat bukan dalam tasyahhud, walaupun ada beberapa ulama mutaakhirīn mazhab menyebutkan hal tersebut seperti yg sudah disebutkan di atas.
3. Ucapan Ibnu ‘Abbās -radhiyallāhu- di atas yang mengisyaratkan bahwa lafadz tasyahhud bersifat tauqifiy.
Shalawat
Shalawat yang dimaksud di sini adalah shalawat yang diucapkan ketika sholat. Yaitu bacaan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Nah, bolehkah menambahkan lafadz “Sayyidina” ketika menyebut nama Muhammad di dalam shalawat di atas?
Dalam masalah ini setidaknya ada tiga pendapat ulama Syafi’iyah.
Pandangan pertama: Tidak dianjurkan penambahan lafadz tersebut dalam shalat, namun apabila ditambahkan maka tidak membatalkan shalat. Ini pandangan Al-Khathib As-Syarbiniy dan yang zhahir dari ucapan Al-Isnawiy –Rahimahumallahu ta’ala-.
Pandangan kedua: Dimustahabkan penambahan lafadz tersebut dalam shalat. Ini adalah pendapat Ar-Ramliy dan Ibnu Hajar Al-Haitsamiy, dinisbatkan pula kepada Ibnu Zhahirah –Rahimahumullah-.
Pandangan ketiga: Penambahan lafadz tersebut dalam shalat membatalkannya. Ini adalah pendapatnya Abul Muzhaffar at Thusiy –Rahimahullah-, hanya pendapat ini lemah dan syādz.
Catatan: Pendapat pertama cukup kuat, dikarenakan ihtiyāth (kehati-hatian) dalam menambahkan sesuatu dalam shalat dan khurūj (menghindari) pendapat yg ketiga.
Adzan
Tidak ada nukilan yg dari kalangan ahli tahqīq dalam mazhab Syafi’i tentang penambahan lafadz “Sayyidina” ketika mengumandangkan azan. Hanya saja ada nukilan dari As-Syabramallisiy, itupun secara “takhrij“[3] atas pendapat Ar-Ramliy dalam masalah penambahan lafadz “Sayyidina” pada shalawat.
Hanya saja takhrīj yg beliau lakukan, perlu ditinjau kembali, dikarenakan pembahasan adzan lebih sempit/ketat dibandingkan pembahasan shalawat. Sedangkan dalam pembahasan adzan ulama’ mazhab banyak memakruhkan penambahan-penambahan dalam adzan dengan alasan bahwa lafadz tersebut tidak disebutkan oleh Nabi, seperti penambahan at tatswib[4] dalam adzan isya’.
Mereka membantah orang-orang yang mengqiyaskan penambahan at tatswīb dalam adzan isya’ dengan adzan subuh. Begitu pula mereka memakruhkan pembahasan ucapan “Hayya ‘alā khoiril ‘amal” walaupun penambahan ini disebutkan dalam hadits yg mauqūf.
Tidak dianjurkannya penambahan lafadz tersebut dalam adzan juga dikuatkan secara dalil, sebagaimana diriwayatkan dari Abī Mahdzūrah: “Bahwasanya Rasulullah mengajarkan kepadanya adzan dengan 19 jumlah“. Penyebutan jumlah tersebut menunjukkan kehati-hatian para sahabat dalam menambah atau mengurangi lafadz adzan.
Walau demikian, penambahan lafadz tersebut tidak membatalkan adzan, dikarenakan ulama mazhab Syafi’i memperbolehkan penambahan zikir atau kata dalam adzan, tentu hal tersebut selama tidak membuat adzan menjadi samar dikalangan orang-orang yg mendengarkannya.
Terakhir, apapun pilihan anda, teruslah pelajari dengan matang setiap permasalahan agama dan ikutilah ulama yg menurut anda lebih dipercaya secara keilmuan dan ketaqwaannya. Semoga bermanfaat dan selalu diberi taufik oleh-Nya. Wallahu a’lamu bissowab
0 Response to "Hukum Menambahkan Lafadz “Sayyidina” Saat Tasyahhud, Shalawat Dan Adzan"
Post a Comment