Lima Sumber Harta Haram Pejabat dan Pegawai Negara Menurut Islam
Setiap harta yang mereka peroleh dengan (memanfaatkan) jabatan, kekuasaan atau (status) kepegawaiannya -baik harta itu (berasal dari) harta negara maupun harta individu-, maka harta tersebut dianggap ghulul (curang), perolehan yang diharamkan, dan harta yang bukan miliknya. Karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i. Mereka wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya -jika diketahui-. Dan jika tidak, maka harta itu disita dan diserahkan ke Baitul Mal kaum Muslim.
Allah SWT berfirman: Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. (TQS. Ali Imraan [3]: 161)
Dan dari Abi Mas’ud ia berkata bahwa Rasulullah Saw pernah mengangkatnya sebagai petugas pengumpul zakat. Beliau bersabda: Wahai Abu Mas’ud, berangkatlah, semoga pada hari kiamat kelak aku tidak akan mendapatimu datang dalam keadaan punggungmu memikul seekor unta shadaqah yang meringkik-ringkik yang engkau curangi. Aku menjawab, ‘Jika demikian aku tidak jadi berangkat!’ Beliau menjawab: ‘Aku tidak memaksamu’. (HR. Abu Daud)
Bermacam-macam cara memperoleh harta yang tidak syar’i dari para wali, para ‘amil dan pegawai negara, antara lain:
Pertama, Suap (Risywah)
Suap adalah setiap harta yang diberikan kepada penguasa (wali), ‘amil, hakim (qadli) atau pegawai negara, dengan maksud untuk memperoleh maslahat (berupa keputusan) mengenai suatu kepentingan yang semestinya diputuskan oleh mereka tanpa pembayaran. Suap, seluruhnya adalah haram, apapun bentuknya, baik sedikit maupun banyak, dengan cara apapun diserahkannya, dan dengan cara apapun harta itu diterimakan. Semuanya haram.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan/pemerintahan.
Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru yang berkata, Rasulullah Saw bersabda: Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.
Ahmad meriwayatkan dari Tsauban ia berkata: Rasulullah Saw melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan. Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa suap itu haram.Suap kadang-kadang dipungut sebagai ganti karena telah memperoleh maslahat (berupa keputusan) mengenai suatu kepentingan yang semestinya diputuskan tanpa perlu balas jasa, karena sudah menjadi kewajiban orang itu untuk menyelesaikan/mengurusnya.
Kadangkala suap diambil (sebagai imbalan-pen) karena tidak mengerjakan suatu kewajiban yang seharusnya dikerjakan. Juga suap diambil sebagai imbalan atas suatu pekerjaan yang dilarang negara. Seluruhnya tidak ada perbedaan, apakah akan mendatangkan maslahat ataukah mudlarat. Seluruh harta yang diperoleh dengan cara suap adalah harta haram dan bukan harta miliknya. Jadi harus dikembalikan (kepada pemiliknya), atau disita dan disimpan di Baitul Mal, karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i. Pelakunya harus mendapat hukuman, baik yang menyuap, yang disuap maupun perantara keduanya.
Kedua, Hadiah atau Hibah (Gratifikasi)
Hadiah/hibah adalah harta yang diberikan kepada para penguasa (wali), para ‘amil, hakim (qadli), dan para pegawai negara, dengan cara memberikannya sebagai hadiah atau hibah. Tindakan ini serupa dengan suap (risywah).
Tidak boleh seorang penguasa (wali), ‘amil, qadli dan pegawai negara menerimanya. Meskipun pihak yang memberi hadiah atau hibah tersebut pada saat itu tidak mempunyai kepentingan yang hendak diperolehnya, namun ia ingin memperoleh penghargaan dan penilaian istimewa, atau ingin memperoleh suatu kepentingan di kemudian hari.
Hadiah atau hibah yang diberikan kepada para penguasa (wali), para ‘amil, para hakim (qadli), dan pegawai negara sama dengan perbuatan curang (ghulul). Dan tempat bagi orang yang curang adalah neraka.
Terdapat larangan yang jelas dari Rasulullah Saw untuk menerimanya. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Humaid as-Sa’idi yang berkata:
Nabi Saw mempekerjakan seseorang laki-laki dari Bani Asad. Ia adalah Ibnu Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Seusai melaksanakan tugasnya, Ibnu Atabiyyah datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata: ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan (harta) ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku.’ Lalu Rasululah saw berdiri di atas mimbar, beliau memuji Allah kemudian bersabda: ’Seorang ‘amil yang kami pekerjakan, kemudian ia datang dan berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku’. Apakah tidak lebih baik jika ia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, -kemudian dapat mengetahui apakah ia (akan) diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat ia datang dengan membawa di lehernya seekor unta yang meringkik-ringkik, atau sapi yang melenguh, atau domba yang mengembik’. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat ketiaknya yang putih. Lalu beliau berdo’a: ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan hal ini’. Itu diucapkannya dua kali.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap harta yang dihadiahkan atau dihibahkan kepada para penguasa (wali), para ‘amil, para hakim (qadli) dan pegawai negara, dianggap perolehan yang diharamkan. Bukan hak miliknya, harus dikembalikan kepada pemiliknya, atau disimpan di Baitul Malkaum Muslim. Sebab, harta itu diperoleh dengan cara yang tidak syar’i.
Ketiga, Harta kekayaan yang diperoleh dengan sewenang-wenang dan dengan tekanan kekuasaan
Adalah harta yang diperoleh para penguasa, para wali, para ‘amil, kroni-kroni mereka, dan para pegawai negara, yang berasal dari harta atau tanah milik negara, harta atau tanah milik masyarakat, yang diperoleh dengan jalan pemaksaan, sewenang-wenang, kekerasan, tekanan kekuasaan dan penyelahgunaan jabatan. Seluruh harta dan tanah yang berasal dari negara dan masyarakat, melalui cara-cara tersebut diatas dianggap sebagai perolehan yang diharamkan.
Tidak boleh dimiliki, karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i. Seluruh usaha untuk memperolehnya dianggap perbuatan yang zalim, dan perbuatan zalim adalah haram, yang di hari Kiamat nanti kezaliman itu merupakan suatu kegelapan. Hal itu sama dengan kecurangan, dan orang yang berbuat curang tempatnya di dalam neraka.Nabi Saw bersabda: Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka kelak pada hari kiamat ia akan dikalungi Allah dengan (belenggu seberat) tujuh lapis bumi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah bahwa Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang secara zalim mengambil sejengkal tanah, maka kelak ia akan dikalungi Allah dengan (belenggu seberat) tujuh lapis bumi. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Harta atau tanah milik masyarakat yang diambil penguasa secara paksa, jika diketahui siapa pemiliknya, maka wajib dikembalikan kepadanya. Namun, jika pemiliknya tidak diketahui, maka dimasukkan ke Baitul Mal. Jika harta dan tanah itu milik negara, maka seketika itu juga dikembalikan kepada negara.
Tindakan seperti ini pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tatkala menerima kekhilafahan dengan mengembalikan seluruh harta dan tanah yang diambil bani Umayah dari masyarakat melalui tekanan kekuasaan, kepada Baitul Mal kaum Muslim.
Kecuali jika diketahui pemiliknya, maka dikembalikan kepada mereka. Bani Umayah melepaskan harta yang mereka bagi-bagikan dan harta sumbangan, serta seluruh harta yang mereka ambil. Ini terjadi karena mereka menganggap (dapat) memiliki sesuatu dengan kekuatan kekuasaan bani Umayah, dan dengan cara yang tidak syar’i, sehingga tidak boleh memilikinya.
Umar bin Abdul Aziz memulai dari dirinya dengan cara menanggalkan seluruh harta miliknya, seluruh hewan tunggangannya, seluruh minyak wangi dan perhiasannya. Kemudian dijual dengan harga 23 ribu dinar, dan memasukkannya ke Baitul Mal.
Keempat, Hasil Makelaran (Samsarah) dan Komisi (‘Amulah)
Yaitu meliputi harta hasil makelaran/komisi para penguasa (wali), para ‘amil dan para pegawai negara, yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan asing maupun lokal, atau orang-orang tertentu, sebagai balas jasa dari penjualan atau berbagai transaksi perusahaanperusahaan tersebut dengan negara.
Seluruh harta yang diperoleh dengan jalan seperti ini dianggap sebagai kecurangan (ghulul) dan termasuk perolehan yang diharamkan. Tidak boleh dimiliki. Jadi, harus disimpan di Baitul Mal kaum Muslim, karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i.
Dari Mu’adz bin Jabal berkata: Rasulullah Saw mengutusku ke Yaman. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Rasulullah Saw bertanya kepadaku, ’Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang untuk menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa izinku. Itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil, dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.’ (HR. Tirmidzi)Hasil makelaran atau komisi dari perusahaan-perusahaan dan orang-orang tertentu untuk para penguasa (wali), para ‘amil dan pegawai negara, yang diberikan tanpa sepengetahuan negara, diserahkan di belakang, maka perbuatan ini dianggap sebagai suap (risywah). Ini diberikan kepada mereka agar perusahaan atau individu-individu tersebut memperoleh (order) penjualan, atau mendapatkan transaksi maupun proyek yang dapat mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka, bukan kepentingan negara dan umat.
Kelima, Korupsi (Ikhtilas)
Yakni harta-harta yang dikorupsi para penguasa (wali), para ‘amil dan pegawai negara, dari harta-harta negara yang berada di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk membiayai tugas pekerjaan mereka, atau (yang mestinya digunakan) untuk membiayai berbagai sarana dan proyek, ataupun untuk membiayai kepentingan negara dan kepentingan umum lainnya.
Termasuk di dalam korupsi adalah uang yang diambil oleh pegawai-pegawai pos, telegram, telepon, dan transportasi dari kantor-kantor pemerintahan dengan jalan menambah jumlah rekening penagihan yang semestinya, melalui cara-cara penipuan, pemalsuan atau memanfaatkan kelengahan orang lain.
Uang yang diperolehnya dengan jalan korupsi atau dengan jalan mencari-cari kelengahan orang lain, penipuan dan lain sebagainya, semua itu dianggap sebagai perolehan yang haram, bukan miliknya, termasuk (perbuatan) curang. Harta tersebut harus disita dan diserahkan ke Baitul Mal.
Umar bin Khaththab jika meragukan kekayaan seorang wali atau ‘amil, maka beliau menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Kadangkala (jumlah kelebihan itu) dibagi dua. Beliau selalu menghitung dan mencatat kekayaan seorang wali atau ‘amil sebelum diangkat sebagai pejabat.
Setelah masa tugasnya selesai kekayaannya dihitung lagi. Apabila ia mempunyai kekayaan tambahan yang diragukan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal.
Tindakan tersebut pernah dilakukan terhadap Abu Sufyan setelah ia kembali dari Syam -tempat anaknya Mu’awiyyah menjabat sebagai gubernur pada masa Umar bin Khaththab-. Abu Sufyan menyampaikan salam kepada Umar. Setelah itu Umar berkata -dalam hati beliau menduga bahwa Mu’awiyyah membekali ayahnya dengan uang dan barang-barang berharga untuk dibawah pulang- ‘Hai Abu Sufyan, berilah kami oleh-oleh!’ Abu Sufyan menjawab, ‘Kalau kami memperoleh sesuatu tentu engkau akan kuberi oleh-oleh’. Umar mengulurkan tangannya ke sebuah cincin yang berada di tangan Abu Sufyan, lalu diambilnya. Kemudian ia mengutus seseorang dan membawa cincin itu kepada Hindun, istri Abu Sufyan. Utusan tersebut dipesan supaya berkata kepada Hindun atas nama Abu Sufyan, ‘Perlihatkan kepadaku dua wadah yang baru engkau terima dan berikanlah keduanya.’ Utusan itu kembali membawa dua buah wadah, ternyata di dalamnya terdapat uang sebanyak 10.000 dirham. Uang tersebut diambil oleh Umar dan diserahkan ke Baitul Mal.
Semua perolehan para penguasa (wali), para ‘amil dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, menjadi pemasukan bagi Baitul Mal. Setiap harta yang diperoleh seseorang dengan cara yang dilarang oleh syara’ juga menjadi milik Baitul Mal, karena semuanya merupakan perolehan yang diharamkan, dan tidak berhak dimiliki.
0 Response to "Lima Sumber Harta Haram Pejabat dan Pegawai Negara Menurut Islam"
Post a Comment